oleh : Herry Nurdi
Saya belajar tentang menanam benih budi dari seorang bernama Ustadz Salamat Hashim. Beliau adalah pemimpin Moro Islamic Front Liberation, gerakan Islam yang memperjuangkan kemerdekaan bagi kaum Muslimin di wilayah Mindanao, Filipina Selatan. Beliau mengatakan kata-kata yang bagi saya sangat kuat pesannya:
“If this freedom cannot be achieved during my lifetime, I can assure you, and I can assure everybody, that I have already planted the seeds of Jihad. I have already planted the idea of fighting for freedom in the heart of my people, the Bangsamoro people.”
(Jika kemerdekaan ini tidak bisa dicapai semasa saya hidup, maka saya memastikan pada Anda, saya akan memastikan pada semua orang, bahwa saya telah menabur dan menanam benih Jihad. Saya telah menanam ide perjuangan kemederkaan di dalam hati semua orang. Di dalam hati kaum saya, Bangsamoro.)
Tak banyak pejuang yang bisa mengecap kemenangan dan hasil dari perjuangannya. Kalaupun ada, mungkin bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Salah satu nama yang bisa kita sebut adalah Nelson Mandela, yang akhirnya bisa melihat langit cerah dan matahari keadilan di Afrika Selatan, setelah tahun-tahun pedih di bawah apartheid mereka rasakan. Sisanya, banyak sekali orang-orang seperti Ustadz Salamat Hashim yang meninggal karena serangan jantung setelah berjalan kaki empat hari menghindari serangan militer Filipina.
Hari itu, di sebuah tempat bernama Kamp Abu Bakar, Ustadz Salamat Hashim sedang menyampaikan Khutbah Idul Adha tahun 2000 silam. Ketika serangan udara dari pesawat udara militer Filipina menghujani tempatnya dengan peluru-peluru besar yang mematikan. Setelah berjalan kaki berhari-hari, Ustadz Salamat Hashim sudah merasakan, ajal sudah mendekat dan nyaris tak berjarak. Beberapa usaha pengobatan sudah dilakukan, bahkan ada usaha untuk membawa Ustadz Salamat Hashim keluar dari Filipina untuk mendapatkan perawatan. Tapi beliau menolak.
“Biarlah saya mati di sini, di tanah yang saya cintai, dikeliling orang-orang yang saya kenali, yang dihatinya telah ditanam benih perjuangan.” Setelah menunjuk pemimpin yang akan melanjutkan perjuangan, Ustadz Salamat Hashim pun menghembuskan napas terakhirnya dalam pergolakan.
Menanam benih. Betapa sederhana sebetulnya hidup ini. Kemenangan hanyalah sebuah konsekuensi logis dari benih-benih yang tumbuh dan berkembang. Membesar dan memberikan hasil yang maksimal. Benih-benih mengakar jauh ke dalam tanah, mengokohkan pokok yang tinggi menjulang ke angkasa.
Siapakah mereka yang menanam benih hari ini? Masih adakah orang-orang yang bersungguh menyiangi benih-benih yang sudah di tabur, menjaganya dari serangan hama yang menganggu dan memberikan pupuk agar tumbuh subur?
Ini adalah tugas yang sebenarnya harus kita lakukan. Menabur dan menanam benih, menjaga dan menyirami, memupuk dan membesarkan. Tanpa harus menganggap ringan orientasi hasil akhir, kita harus bersungguh-sungguh dalam proses penanaman. Karena memang, tak ada yang pernah tahu, kapan musim panen tiba dan hasil bisa dituai dengan senyum gembira.
Jangan menjadi orang-orang yang ke bawah tak mengakar, ke atas dan berpucuk, dan di tengah-tengah di heret kumbang.
Menanam benih kesadaran. Itu tugas besar yang harus kita lakukan saat ini. Tak peduli berapa lama kemenangan dan kejayaan akan diraih, mungkin kita bisa menyaksikan, mungkin juga tak pernah. Tapi yang harus kita pastikan adalah, sudahkah kita menanam kesadaran pada orang-orang, agar perjuangan bisa diwariskan?\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar