oleh : Herry Nurdi
allama Mohammad Iqbal pernah berkata, “Aku beritahu kamu, tanda-tanda orang beriman. Ketika kematian datang, dia akan menyambutnya dengan senyuman.”
Saya mengingat kata-kata Mohammad Iqbal ini ketika menerima dan melihat foto jenazah Mahmoud al Mabhouh. Ada luka-luka di wajahnya. Ada bekas jeratan tali yang mencekik lehernya. Bahkan hidungnya memar, mungkin juga patah. Tapi luka-luka itu semua, terkalahkan dengan sesungging senyuman yang muncul di bibirnya.
Saya tak bisa membayangkan, apa yang dialaminya pada detik-detik terakhir dengan luka-luka seperti itu. Bahkan dalam sebuah berita, saya membaca tentang bekas luka-luka akibat sengatan listrik di kepalanya. Jika dengan segala bekas luka itu, jeratan di leher, memar di hidung, sengatan listrik di kepala, bagaimana dia bisa tersenyum di penghabisan umurnya?
Bagaimana senyum itu muncul dan mengatasi segala rasa sakit yang ada? Nalar memang kerap kali tak bisa menerjemah. Termasuk tentang fenomena kecil, senyuman dibibir jenazah syuhada (insya Allah) Mahmoud al Mabhouh.
Ustadz Samson Rahman, memberikan komentar ketika foto senyum terakhir Mahmoud al Mabhouh ini saya posting ke halaman facebook saya. ”Menjadi syuhada itu karunia. Maka kuatkanlah tekad kita!”
Ustadz Samson Rahman, banyak orang mengenalnya sebagai salah satu penerjemah terbaik materi-materi dakwah dari bahasa Arab ke Indonesia. Salah satu terjemahan terbaik yang pernah disumbangkannya adalah, La Tahzan karya Dr Aidh al Qarni. Tapi tak banyak yang mengetahui bahwa Ustadz Samson Rahman yang berdarah Madura ini adalah satu dari sedikit orang yang menjadi saksi kematian Abdullah Azzam ketika dibom di Pakistan pada tahun 1989.
Bom seberat 20 kilogram itu ditanam di sebuah gang yang akan dilalui oleh asy Syahid Abdullah Azzam. Beliau meninggal, tubuhnya terlempar dan tersandar di dinding gang. Tubuh anaknya, hancur. Bahkan potongan tubuhnya tersangkut di atas tiang listrik.
Saya mendengar kisah ini bertahun-tahun silam dari Ustadz Samson Rahman. Dan ketika beliau menuliskan komentarnya di facebook, bahwa syuhada itu adalah karunia, maka pahamlah saya mengapa jenazah Mahmoud al Mabhouh menyungging senyuman.
Bagaimana tidak!? Dia sedang memperoleh anugera besar. Tentu saja, ada sebab yang membuatnya tersenyum dan melupakan penderitaan yang dirasakan badan. Seketika saya ingat salah satu kemuliaan yang direkam Allah dalam salah satu ayat-Nya:
”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At Taubah: 111)
Duhai, badan dan umur, nalar dan perasaan, jawablah pertanyaan yang kuajukan. Siapa yang lebih menepati janji dibanding Allah SWT? Sungguh, Allah adalah sebaik-baiknya pembuat janji. Dan dalam janji-Nya, Dia berikrar akan membela diri dan harta, setiap orang yang berjuang di jalannya dengan surga. Maka, rasa sakit manakah yang mampu menahan senyum untuk tak tersungging ketika jiwa dan harta kita dibeli dengan balasan yang sangat tinggi.
Syaikh Abdullah Azzam pernah berkata pada dirinya sendiri dan kepada anak dan istrinya. Bahwa ia telah berjanji, akan menjadikan urusan jihad sebagai urusan dalam rumah tangganya. Jihad adalah urusannya sebagai ayah. Jihad adalah urusan istrinya sebagai ibu dan permaisuri. Jihad adalah urusan anak-anak yang dilahirkan oleh rahim mulia ke bumi.
Tiba-tiba saya merasakan ngilu yang luar biasa di dalam dada. Di mana letak dan posisi saya di depan kata yang sangat mulia itu, ”Jihad.” Dimana letak dan posisi kita semua dalam di depan kata yang penuh dengan kebesaran itu?
Kita masih terlalu sering mengeluh tentang urusan dunia, bahkan pada hal-hal yang tak penting sama sekali. Tentang macet di jalan yang entah habis sampai kapan. Tentang cuaca yang mudah berubah, sebentar panas, sebenar hujan. Tentang rasa asin yang terlalu pekat dalam makanan. Tentang pundak yang letih karena bermain games atau chatting seharian. Kita mengeluhkan banyak hal yang tak ada kaitannya dengan derajat mulia seorang pejuang.
Padahal, Commander al Khattab, salah seorang pejuang legendaris Chechnya pernah berkata pada kawan-kawan seperjuangannya. ”Hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan yang paling mulia adalah perjuangan di jalan Allah SWT. Jangan mati karena urusan dunia,” tandasnya.
Mudah-mudahan dunia tidak menyita waktu dan hidup kita. Dan mudah-mudahan semua yang kita lakukan bernilai jihad dan ibadah. Paling tidak, tidak terhitung sia-sia.
Tapi ketika saya menghibur diri dengan kalimat seperti di atas, saya teringat perkataan salah seorang pejuang yang lainnya. Sayyid Quthb. Tokoh yang dianggap sebagai bapaknya radikalisme dalam Islam ini pernah berucap, ”Kata-kata tidak akan berarti apa-apa. Tidak memiliki ruh dan tenaga. Sampai, yang mengucapkan kata-kata berani memberikan nyawa dan badannya pada kata-kata yang dianggapnya benar sebagai bentuk pelaksanaan perjuangan.”
Sudahkah kita mempertaruhkan seluruh hidup kita untuk kata-kata yang benar? Ini menjadi pertanyaan lain yang harus kita berikan jawaban. Dan itu pula yang diberikan Sayyid Quthb ketika algojo memintanya mengucapkan syahadat sebelum mengakhiri umur di tiang gantungan. ”Kau tahu mengapa aku berdiri di tiang gantungan? Karena aku bulan lagi bersyahadat dengan lidah dan kata-kata. Aku telah bersyahadat dengan hidupku!” Begitu kata Sayyid Quthb lantang, menolak perintah algojo yang memintanya bersyahadat dengan lisan.
Kita, sudah sejauh apa syahadat yang kita ucapkan? Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita, untuk tidak sekadar bersyahadat dengan lisan dan kata-kata, tapi juga dengan jiwa dan raga. Am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar