Kamis, 04 Februari 2010

Membendung Stigma

oleh : Asep sobari

Ketakutan akan terberangusnya berbagai kepentingan bukan satu-satunya alasan yang mendorong pihak yang ‘kuat’ dan berkuasa untuk melancarkan stigma kepada lawan. Stigma juga dipicu faktor lain yang sangat mendasar, yaitu kelemahan. Bukan kelemahan kedudukan dan infra-struktur, karena mereka berkuasa, tapi kelemahan argumentasi.


Stigma dilancarkan oleh mereka yang miskin ideologi dan pemikiran. Mereka menganut nilai-nilai hidup yang rapuh dan usang, sehingga sudah selayaknya disimpan sebagai tambahan koleksi museum-museum peradaban. Kelemahan inilah yang membuat mereka tidak sanggup bertahan dari gempuran pemikiran-pemikiran segar nan dinamis yang dibangun di atas ideologi dan nilai-nilai hidup yang kokoh. Tapi, sekali lagi, mereka berkuasa dan mengendalikan struktur, sehingga segera menutupi kelemahan itu dengan stigma yang tidak jarang berujung kekerasan.

Simak dialog Musa as dengan Fir`aun yang dituturkan cukup detail dalam surah asy-Syu`ara’, mulai ayat 16 dan seterusnya. Dengan tegar, Musa memaparkan konsep ketuhanan yang diterimanaya dari wahyu untuk membungkam klaim ketuhanan Fir`aun. Musa juga mendobrak keangkuhan Fir`aun yang enggan mengakui kezalimannya terhadap rakyat banyak dari Bani Israil hanya karena merasa telah ‘berbaik hati’ mengasuh Musa hingga dewasa di dalam istana. Fir`aun jelas tersudut. Tapi, bukan argumentasi bantahan yang muncul dari mulutnya, melainkan stigma, “Dia benar-benar sinting!” (QS asy-Syu`ara’: 27). Dan ketika Musa menunjukkan bukti-bukti kerasulannya yang tidak terbantahkan, Fir`aun semakin kalang kabut, “Dia benar-benar ahli sihir!” (QS asy-Syu`ara’: 34).

Di masa Rasulullah saw, Quraisy melakukan hal yang sama. Quraisy tidak pernah sanggup membantah kewahyuan al-Qur’an. Bahkan pengakuan yang beredar di antara sesama mereka menunjukkan sebaliknya, “Demi Allah, aku mendengar sesuatu yang tiada tandingnya. Demi Allah, ia bukan puisi, bukan sihir dan bukan pula mantera dukun!” kata Utbah bin Rabi`ah. Kalimat yang mirip juga dinyatakan Walid bin Mughirah. Uniknya, musuh terbesar Islam kala itu, Abu Jahal bin Hisyam tidak dapat menyembunyikan ketertarikannya pada al-Qur’an. Abu Jahal beberapa kali mengendap-endap di malam hari dekat rumah Rasulullah untuk mendengar ayat-ayat al-Qur’an yang dibacanya. Demikian penuturan Ibnu Ishaq dalam as-Sirah dan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah.

Stigma miring jelas membuat Rasulullah saw dan para sahabat tersudutkan. Mereka menjadi tertuduh dan ruang gerak dakwah semakin sempit. Lantas, apa yang dilakukan generasi awal itu untuk membendung badai stigma yang menghantam mereka? Jika mencermati literatur-literatur sirah, maka akan didapati kenyataan yang sangat menarik. Untuk mematahkan stigma tersebut, Rasulullah tidak banyak mengumbar pernyataan-pernyataan verbal, tapi menempuh upaya-upaya konkret yang membuktikan kebenaran Islam.

Selama fase awal gerakan dakwah di Makkah, perhatian Rasulullah lebih terfokus pembinaan para sahabat dengan menanamkan nilai-nilai dan pandangan hidup Islam, setelah membersihkan (tazkiyah) mereka dari pandangan hidup jahiliyah. Inilah proses yang disebut Jaudat Sa`id dalam Hatta yughayyiru ma bi-anfusihim sebagai taghyir ma bil anfus atau perubahan pemikiran dan keyakinan, yang mendasari perubahan karakter dan perilaku.

Tampaknya, Rasulullah memandang tahap ini sangat fundamental dan menentukan. Bagaimana tidak, inilah tahap pembibitan yang akan melahirkan model ideal masyarakat Muslim sepanjang masa, as-sabiqunal awwalun. Untuk itu, Rasulullah mengiringinya dengan langkah-langkah yang sangat ketat; para sahabat tidak diizinkan menyatakan keislamannya secara terbuka, membuat pusat dakwah tertutup (Darul Arqam), dan menghindari benturan fisik dengan Quraisy.

Ini berarti, yang dilakukan Rasulullah saw kala itu adalah melahirkan masyarakat Muslim yang sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai dan ajaran Islam, sehingga stigma dan tudingan miring yang dilancarkan Quraisy tidak mendapatkan pembenaran sedikit pun. Kaum Muslim menjadi hujjah (argumentasi) kebenaran Islam yang dengan mudah dapat dilihat dan dirasakan oleh siapa pun.

Memang, pencapaian ini tidak akan serta merta meluluhkan arogansi orang-orang semisal Abu Jahal, Uqbah bin Abi Mu`aith, Umayyah bin Khalaf dan lain-lain. Tapi, di luar sana banyak potensi yang sebenarnya jauh lebih besar dan menentukan di masa akan datang seperti Hamzah, Umar bin Khathtab, Thufail bin Amr yang melihat stigma hanyalah ilusi dan senjata orang yang lemah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar