Kemarin
sekolah kami kedatangan seorang ibu. Seperti
biasa aku menyambutnya dengan ramah, “ada yang bisa saya bantu ibu” tanyaku
kepada ibu berjilbab itu. Ibu itu pun
membalas senyumanku “ maaf pak, saya kesini mau Tanya, apa bisa anak saya
pindah ke sekolah ini “ jawab ibu itu menyampaikan maksud kedatangannya. Sebenernya
ibu ini bukan tamu yang pertama datang dengan maksud untuk memindahkan sekolah
anaknya ke sekolah ini. Bahkan beberapa
hari yang lalu, ada yang datang dari luar kota (tegal) juga ingin memindahkan
anaknya ke sekolah ini. Setidaknya ada
dua yang dijadikan alasan mereka memindahkan sekolah anaknya. Pertama,
ikut pindah domisili orang tua. Kedua, karena anaknya tidak betah belajar di
sekolah yang sekarang. Namun dari dua
alasan itu aku lebih sering mendengar alasan yang kedua, tidak betah belajar di
sekolah yang sekarang. Biasanya alasan yang kedua ini bagi mereka yang belajar
di pesantren (biasanya pesantren luar kota), anak mereka mengaku tidak betah
belajar di pesantren atau mereka tidak bisa jauh dari orang tua(mungkin orang
tua yg tidak bisa jauh dari anak).
Untuk
ibu ini. Alasannya pun tidak jauh dari alasan yang kedua, tidak betah belajar
di sekolah yang sekarang. Sebenernya untuk
tahun ini sekolah kami tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang bisa menerima
pindahan siswa dari mana pun dan kapan pun. Namun untuk tahun ini berbeda. Bukan karena kami tidak mau menerima murid
pindahan atau karena tidak ada bangku kosong di sekolah kami. Tapi lebih ke masalah
administrasi (birokrasi). lantas bagaimana administrasi(birokrasi) di sekolah kami? Lebih
ribet dari adminitrasi kelurahan kah?? Hmm..sebenernya juga tidak. Bahkan di
sekolah kami bisa dibilang paling mudah dalam hal administrasi. Alhamdulillah di
sekolah ini masih banyak orang-orang idealis yang tidak terobsesi mencari
keuntungan dengan jalan 'tidak manusiawi'. Menurutku mencari keuntungan di tengah
kesulitan orang lain, mempersulit urusan orang lain yang seharusnya bisa
dipermudah adalah cara-cara tidak manusiawi. Malu rasanya jika ada seorang
pendidik yang bertindak seperti itu, mau jadi apa bangsa ini jika para
pendidiknya mempunyai karakter ‘tidak manusiawi’. syukurlah, selama aku bekerja di
sekolah ini tidak pernah aku melihat praktek-praktek tidak manusiawi seperti itu.
Lagi-lagi
aku harus menjawab “tidak bisa” kepada ibu itu. Lantaran kebijakan dari dinas
pendidikan yang tidak menerima input data siswa baru di tengah-tengah semester
ini, begitu penjelasan yang aku denger dari pak didin, wakil kepala sekolah. Setahu aku proses pengurusan input
data siswa di dinas sana sangatlah ribet. Belum lagi ‘uang pelicin’ yang tidak malu-malu
lagi harus disetorkan setiap kali kita berurusan dengan dinas. Kalo tidka
percaya, tanyakan saja kepada kepala sekolah dan wakil kepala sekolah kami. Merekalah
yang selalu bolak-balik ke dinas dalam hal urusan administrasi sekolah. “gila,,sekarang
udah gak malu lagi mintanya, sudah ada kotak khusus untuk taruh amplop” begitu
cerita pak diman, kepala sekolah kami sehabis pulang dari gatot subroto.
Ini seperti
sudah jadi budaya, mereka sudah tidak malu-malu lagi menampilkan 'budaya kotor'
itu. Pantaslah wajah negri kita seperti
ini. Budaya kotor itu sudah merasuk di lembaga pendidikan yang seharusnya memiliki imunitas kuat dibandingkan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, sudah jadi rahasia umum, bahkan sudah tidak perlu lagi dikatakan rahasia, karena memang budaya kotor itu bisa kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri apabila kita berurusan dengan lembaga-lembaga pemerintahan itu. lembaga pendidikan yang seharusnya bisa mencerminkan budaya bangsa yang luhur, tapi malah membiarkan, malah sepertinya melestarikan budaya koto itu.Padahal disana tempatnya orang-orang terdidik,
kalau begitu bagaimana hasil dari pendidikan kita saat ini? Bagaimana cermin
generasi para pendidik itu??
“ibu
kenapa ingin pindahin sekolah anaknya" tanyaku kepada ibu itu yang dari tadi
terus memohon agar anaknya bisa diterima di sekolah ini.
Dengan
wajah berkaca-kaca, ibu itu menceritakan apa yang dialami anaknya di sekolah.
“anak
saya sudah tidak tahan sekolah disana, setiap hari dia selalu dianiaya oleh
temen-temennya…bahkan pernah dipukulin hingga wajahnya babak belur”
Tidak
hanya ibu itu yang perih atas nasib anaknya di sekolah. Aku pun yang
mendengarnya ikut perih. Tak ada yang bisa aku perbuat. Ini sudah jadi
kebijakan dinas. “jika pun ingin pindah, tunggu saja bu sampai akhir tahun
ajaran” hanya itu yang bisa aku katakan.
Sepulang
ibu itu, rasa perih masih kurasakan. Di tengah rasa perih itu muncul sebuah
pertanyaan, “beginikah wajah pendidikan kita saat ini? “
Jakarta, 21 November 2012
Aqil El Banna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar