Rabu, 21 November 2012

Budaya Kotor



Kemarin sekolah kami kedatangan seorang ibu.  Seperti biasa aku menyambutnya dengan ramah, “ada yang bisa saya bantu ibu” tanyaku kepada ibu berjilbab itu.  Ibu itu pun membalas senyumanku “ maaf pak, saya kesini mau Tanya, apa bisa anak saya pindah ke sekolah ini “ jawab ibu itu menyampaikan maksud kedatangannya. Sebenernya ibu ini bukan tamu yang pertama datang dengan maksud untuk memindahkan sekolah anaknya ke sekolah ini.  Bahkan beberapa hari yang lalu, ada yang datang dari luar kota (tegal) juga ingin memindahkan anaknya ke sekolah ini.  Setidaknya ada dua yang  dijadikan  alasan mereka memindahkan sekolah anaknya. Pertama, ikut pindah domisili orang tua. Kedua, karena anaknya tidak betah belajar di sekolah yang sekarang.  Namun dari dua alasan itu aku lebih sering mendengar alasan yang kedua, tidak betah belajar di sekolah yang sekarang. Biasanya alasan yang kedua ini bagi mereka yang belajar di pesantren (biasanya pesantren luar kota), anak mereka mengaku tidak betah belajar di pesantren atau mereka tidak bisa jauh dari orang tua(mungkin orang tua yg tidak bisa jauh dari anak).
Untuk ibu ini. Alasannya pun tidak jauh dari alasan yang kedua, tidak betah belajar di sekolah yang sekarang.  Sebenernya untuk tahun ini sekolah kami tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang bisa menerima pindahan siswa dari mana pun dan kapan pun. Namun untuk tahun ini berbeda.  Bukan karena kami tidak mau menerima murid pindahan atau karena tidak ada bangku kosong di sekolah kami. Tapi lebih ke masalah administrasi (birokrasi). lantas bagaimana administrasi(birokrasi) di sekolah kami? Lebih ribet dari adminitrasi kelurahan kah?? Hmm..sebenernya juga tidak. Bahkan di sekolah kami bisa dibilang paling mudah dalam hal administrasi. Alhamdulillah di sekolah ini masih banyak orang-orang idealis yang tidak terobsesi mencari keuntungan dengan jalan 'tidak manusiawi'. Menurutku mencari keuntungan di tengah kesulitan orang lain, mempersulit urusan orang lain yang seharusnya bisa dipermudah adalah cara-cara tidak manusiawi. Malu rasanya jika ada seorang pendidik yang bertindak seperti itu, mau jadi apa bangsa ini jika para pendidiknya mempunyai karakter ‘tidak manusiawi’.  syukurlah, selama aku bekerja di sekolah ini tidak pernah aku melihat praktek-praktek tidak manusiawi seperti itu.  
Lagi-lagi aku harus menjawab “tidak bisa” kepada ibu itu. Lantaran kebijakan dari dinas pendidikan yang tidak menerima input data siswa baru di tengah-tengah semester ini, begitu penjelasan yang aku denger dari pak didin, wakil kepala sekolah.  Setahu aku proses pengurusan input data siswa di dinas sana sangatlah ribet. Belum lagi ‘uang pelicin’ yang tidak malu-malu lagi harus disetorkan setiap kali kita berurusan dengan dinas. Kalo tidka percaya, tanyakan saja kepada kepala sekolah dan wakil kepala sekolah kami. Merekalah yang selalu bolak-balik ke dinas dalam hal urusan administrasi sekolah. “gila,,sekarang udah gak malu lagi mintanya, sudah ada kotak khusus untuk taruh amplop” begitu cerita pak diman, kepala sekolah kami sehabis pulang dari gatot subroto. 
Ini seperti sudah jadi budaya, mereka sudah tidak malu-malu lagi menampilkan 'budaya kotor' itu.  Pantaslah wajah negri kita seperti ini. Budaya kotor itu sudah merasuk di lembaga pendidikan yang seharusnya memiliki imunitas kuat dibandingkan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, sudah jadi rahasia umum, bahkan sudah tidak perlu lagi dikatakan rahasia, karena memang budaya kotor itu bisa kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri apabila kita berurusan dengan lembaga-lembaga pemerintahan itu. lembaga pendidikan yang seharusnya bisa mencerminkan budaya bangsa yang luhur, tapi malah membiarkan, malah sepertinya melestarikan budaya koto itu.Padahal disana tempatnya orang-orang terdidik, kalau begitu bagaimana hasil dari pendidikan kita saat ini? Bagaimana cermin generasi para pendidik itu??

“ibu kenapa ingin pindahin sekolah anaknya" tanyaku kepada ibu itu yang dari tadi terus memohon agar anaknya bisa diterima di sekolah ini.
Dengan wajah berkaca-kaca, ibu itu menceritakan apa yang dialami anaknya di sekolah.
“anak saya sudah tidak tahan sekolah disana, setiap hari dia selalu dianiaya oleh temen-temennya…bahkan pernah dipukulin hingga wajahnya babak belur”
Tidak hanya ibu itu yang perih atas nasib anaknya di sekolah. Aku pun yang mendengarnya ikut perih. Tak ada yang bisa aku perbuat. Ini sudah jadi kebijakan dinas. “jika pun ingin pindah, tunggu saja bu sampai akhir tahun ajaran” hanya itu yang bisa aku katakan.
Sepulang ibu itu, rasa perih masih kurasakan. Di tengah rasa perih itu muncul sebuah pertanyaan, “beginikah wajah pendidikan kita saat ini? “

Jakarta, 21 November 2012

Aqil  El Banna 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar